[Cerpen] Sepotong Rindu
November 20, 2018Sumber : Pixabay |
“Maksudmu? Kisahmu yang mana?” sahutnya dengan kaget dan membuat
dia batuk karena tersedak teh yang diminumnya.
Aku tak membalas, lebih ingin serius mengeringkan rambut dan
berharap hujan segera reda, sehingga aku bisa pergi. Namun ternyata, aku
membuka cerita itu lagi. Apalagi ini kesempatan terakhirku. Jadi, suka tidak
suka, aku harus katakan, meskipun cukup menyakitkan.
***
Bel pulang berbunyi, seluruh siswa mulai keluar dari kelas mereka
menuju parkiran, termasuk aku. Aku berjalan dengan pelan dan mengabaikan
seluruh keramaian dalam satu titik fokus, dia. Seorang pria berambut hitam
pekat, berjaket abu tua yang sedang berjalan menuju arahku.
“Naya. Kau bawa sepedah?” sapa pria bertubuh lima belas centi meter
lebih tinggi dari tinggiku.
“Oh. Iya. Aku membawa sepeda. Emang kenapa?” heranku, mengingat dia
tidak pernah bertanya masalah hal sepele seperti ini.
“Ok. Ayo!” dia langsung menarik tangan kiriku, membelah kerumunan
siswa menuju parkiran.
Langsung saja ku ambil sepedahku, dan keluar parkiran mengikuti dia
yang sedang menungguku di atas sepedahnya. Aku benar tak tahu kita akan kemana,
karena ini pertama kalinya aku melewati jalan ini, jalan penuh pohon kelapa di
sepanjang jalan.
Setelah sekitar lima belas menit mengayuh sepedah ontel, kami
berhenti disebuah rumah ber cat hijau. Bunga melati yang menjadi pagar
bermekaran dengan ayunya. Sebuah pohon mangga di samping rumah memberikan kesan
adem dipenuhi bunga – bunga aggrek.
“Ayo. Masuk” dia langsung turun dari sepedah dan membuka pintu.
Aku masih keheranan, dan muncul pertanyaan, “ ini rumah siapa?”.
“Assalamu’alaikum” ku ucapkan sambil memasuki rumah asing penuh
dengan tumpukan buku para rak – rak tua di ruang tamunya.
“Duduklah. Kau mau minum apa?” tanya Rama dengan tersenyum
“Ini rumahmu?” penasaranku dengan melihat – lihat buku demi buku di
rak kayu yang tingginya hampir sama denganku.
“Bukan. Tapi ini rumah orang tuaku. Aku hanya numpang saja. Baiklah
aku ambilkan es teh saja ya...” jawabnya sambil meninggalkanku pada ruang
berukuran 3x4 meter.
Jujur saja, aku tak pernah berpikir bahwa hari ini aku akan di ajak
kerumahnya, untuk apa coba?. Mendadak aku berpikir macam – macam. Apalagi
hubunganku dengan dia tak lebih sekedar teman biasa, tapi kita cukup dekat
juga. Bisa ku hitung sejak kita sekelas 4 tahun lalu.
Aku duduk, berniat mengirim pesan ke ibu, bahwa aku pulang telat
karena harus mampir ke rumah teman. Tak lama kemudian, Rama datang dan membawa
2 gelas es teh dan sepiring kue pisang bercampur donat mini bertoping cokelat.
“Kenapa kau mengajakku ke rumahmu?” tanyaku sambil memandanginya.
“Ingin saja. Mengajakmu ke sini” jawabnya dan mengambil sebuah buku
usang bersampul cokelat.
Aku diam. Bingun harus bertanya apa lagi, mau tanya orang tuanya,
tak mungkin. Rumahnya terlihat sepi, serasa dunia hanya milik kita berdua saja.
Namun, mendadak, aku ingin mengajukan sebuah pertanyaan.
“Kau pernah menyukai seseorang?” tanyaku penasaran.
Rama mengabaikan pertanyaanku. Entah benar tak memperhatikanku,
atau memang dia tak ingin menjawab, tapi yang jelas, aku menunggunya berbicara
padaku sudah 10 menit. Jadi, lebih baik ku putuskan aku pulang. Namun, ketika
aku pamit, mendadak dia mulai bicara.
“Lie. Kamu mau balik? Hmmm... Aku boleh ngomong sebentar enggak?”
dia tersenyum dengan harapan aku mau mendengarkannya.
Akhirnya aku duduk kembali dan berusaha mendengarkannya, menganggap
kecuekan dia sejak membuka lembaran demi lembaran buku itu tak pernah ada.
“Kau masih ingat ketika kita mengerjakan tugas bahasa di warnet,
kemudian ada seorang gadis datang mengantarkan kunci rumah, dan pergi” Rama
masih tersenyum dan berharap aku masih ingat.
“Tugas bahasa di warnet? Yah. Bagaimana aku tak ingat dengan itu? Gara
– gara itu, aku dimarahi ibu karena pulang telat demi hujan tak membasahi
sekujur tubuhku” Aku langsung tersenyum.
“Syukurlah! Aku ingin titip buku ini untuknya!” Dia langsung menyerahkan
buku bersampul cokelat itu.
“Hah? Ini untuknya? Yang benar saja. Emang ini buku apa sih? Boleh ku
buka – buka?” aku penasaran.
“Ini kumpulan puisiku. Tentang perasaanku padanya” dia masih
tersenyum berharap aku memberikan padanya.
“Bentar. Jadi maksudnya, kamu naksir dia? Dan kamu berniat kamu menyatakan
cinta melalui puisi – puisimu itu?” Sahutku dengan kaget.
“Bantu aku. Memberikan ini padanya. Aku janji aku akan mentraktirmu
2 porsi es teh jumbo dan gorengan tempe langganan kita” dia meletakkan buku itu
di pangkuanku.
“Tapikan, kamu enggak tahu dia kayak gimana, dia udah punya ke...”
aku berusaha menolak dengan halus.
“Aku minta tolong ya Lie. Lieta yang cantik dan baik hati! Aku
minta tolong. Sekarang kamu boleh pulang” dia langsung memasukkan buku itu pada
rangselku dan menariku untuk pulang, seolah dia tak ingin mendengar penolakan
apapun dariku.
Selama perjalanan pulang, aku masih tak mengerti bagaiaman bisa
seorang pria seperti Rama menyukai Nanda. Ini benar enggak masuk akal. Jika ku
serahkan buku ini, jelas saja, buku ini akan dia buang di tong sampah. Belum
lagi jika ketemu pacaranya, Jefri. Bisa bikin masalah.
Keesokan harinya, aku menemui Nanda, sebelum aku berangkat sekolah.
Niat Rama yang tertulis dalam bait – bait puisinya aku sampaikan, namun, dia
langsung menolak, dan memintaku membawa pergi buku ini. Meskipun aku memaksa
untuk setidaknya membaca 1 puisi di halaman utama, tapi, ternyata aku di
abaikan begitu saja.
Ku langsung ke kelas Rama, mencarinya, dan dia belum datang,
sepertinya kesiangan, itu yang aku pikirkan. Tetapi, ketika istirahat tiba, aku
memcarinya, sebuah kabar dia pindah sekolah muncul dari salah satu teman
kelompoknya.
***
“Jujur. Aku tak pernah tahu, hari itu aku sakit hati karena pria
yang ku sukai sejak di sebuah ruang kelas berpakaian putih biru menyukai orang
lain atau dia pergi tak berpamitan denganku” aku menarik nafas panjang, dan
bersembunyi di balik handuk putih lebar nan halus.
“Jujur. Aku tak pernah tahu, hari itu aku sakit hati karena sudah
tahu Nanda memiliki kekasih dan aku memaksakan diri atau aku tak paham dengan
perasaanku bahwa aku menyukai gadis berambut lurus yang ku tarik tangannya
untuk kerumahku” Rama menjawabnya dengan santai.
“Hah? Maksudmu? Bentar – bentar -
bentar...”aku berusaha mikir keras, dan terlintas berpikir dia
menyukaiku.
“Kau benar. Aku menyukaimu. Sejak pertama kita bertemu. Ketika kita
bertengkar di kelas, dan menyebutmu dengan nama itu “Tomboy!” karena sikapmu
yang tomboy. Hanya saja, entah karena aku takut bisa jauh denganmu, akhirnya
aku mengabaikan kata suka pada hatiku. Memilihmu menjadi temanku. Mungkin
seperti sahabat. Bahkan, ketika aku memintamu untuk menyerahkan buku itu,
sebanarnya itu kumpulan puisiku yang ku buat untukmu. Bukan Nanda. Dan Nanda
hanyalah alasan untuk bisa melepasmu. Sebelum aku pergi dengan keluargaku ke
Jakarta” ungkap Rama dengan tersenyum padaku.
“Yah. Rama Rahardian! Jika kau tau kau menyukaiku. Harusnya kau
katakn sejak hari itu, iya. Sejak kita masih berlarian seperti main kucing –
kucingan mengelilingi kelas. Kau pasti juga tahu aku tertarik padamu. Karena
kau pergi hari itu, aku menangis berhari – hari. Setiap baca puisimu, aku
menangis, teringat denganmu. Dan berpikir kau pergi tak kembali. Jadi cintaku
hanyalah cinta bertepuk sebelah tangan. Andai kau katakan juga, aku tak akan
mencari kekasih dan memperoleh pertanyaan ini” aku mulai meneteskan air mata
tak terima dia tak jujur.
“ya sudah. Terima saja pria itu. Toh dia juga baik. Tak seperti aku”
“Baiklah. Aku akan menemuinya. Dan mengatakan, bahwa aku tidak
menyukainya. Selama ini aku hanya berpura – pura suka padanya”
“Kau gila? Orang tuamu sudah setuju dengan hubungan kalian. Dan kau
memutuskan sepihak seperti itu? Liahtlah bagaimana kekasihmu berkorban. Apalagi,
dia serius mengajakmu menikah. Please! Jangan bercanda!”
“Aku tak bercanda. Ini keputusanku. Untuk menyukaimu selamanya. Seumur
hidupku”
“Yah. Jika kau bersikap seperti itu, entar di kira aku merebut
kekasih orang lagi. Kau bercanda? Yang benar saja. Itu enggak pernah ada dalam
kamus hidupku. Mencuri kekasih orang!”
“Baiklah. Mulai sekarang. Tulis dalam kamus hidupmu. Kau mencuri kekasih orang, demi
menyatukan cinta yang belum kelar. Percayalah. Edo bisa paham dengan maksudku.
Ok!” aku langsung pergi membelah rintik hujan yang mulai reda.
Aku tak tahu kenapa aku harus merelakan Edo yang baik hati demi
Rama. Mungkin ini alasan terbaik untuk bisa berkata jujur pada Edo, bahwa aku
tidak bisa melanjutkan hubungan ini karena kepalsuan rasaku. Ada sepotong Rindu
bukan ku ciptakan untuknya, melainkan Rama. Sepotong Rindu yang telah menyiksaku
selama 8 tahun terakhir.
0 comments