“Menurutmu, kau akan menjadi juara dengan cara
seperti ini?” sahut pria bertubuh kekar dengan mengusap keringat di seluruh
wajahya.
Aku membalasnya dengan nyengir, hanya tertarik
dengan sepasang kakiku di atas rerumputan yang di penuhi dengan air asin.
Mungkin ini bukan pertanyaan pertama untukku, bisa dibilang salah satu
pertanyaan diantara rangkaian pertanyaan sejak aku mogok dan memilih kabur dari
kenyataan yang melelahkan itu.
Mungkin secara sisi ada benarnya pertanyaan mereka,
tapi, jika ku pikirkan dengan panjang, tak ada salahnya jika aku fokus untuk
rilek menikmati hidup. Anggap saja ini hari – hari liburku sebelum aku berjuang
lagi dengan pasukan asamnya kenyataan.
Sebenarnya aku tak pernah berpikir bahwa hari ini
aku akan berlari mengelilingi komplek dan terjebak macet oleh kerumunan masa
yang menikmati akhir pekannya, apalagi sampai bertemu Andi yang ternyata sedang
berlari dengan alasan agar sehat, padahal kita berdua sama – sama sedang kabur
dari kekacauan hati.
“Kau percaya aku akan memang?” tanyaku sambil
merebahkan tubuh dan menarik nafas panjang.
“Hah... Tragis!” tambahku lagi.
“Entahlah! Aku tak paham masalah penilaian para juri
memenangkan sang juara bagaiaman, tapi, jika kau hanya diam saja tanpa
melakukan apa – apa kemungkinan menang. Jika tidak menang setidaknya ada peluang
masuk babak semi final, tapi lebih baik final sih. Kan kau sudah usaha sebaik
mungkin” Andi langsung tersenyum lebar berharap aku kembali ke ruang
eksperimenku.
Masih ingat bagaimana aku berjuang ketika ujian
nasional, mati – matian belajar dari pagi sampai malam bahkan sebaliknya demi
dapa nilai bagus dan dianggap menjadi pemenang oleh orang – orang dengan nilai
tertinggi. Tapi ternyata, fakta mengatakan lain, meskipun aku juga sudah
menjaga kondisi badan fit sampai minum vitamin, hasilnya, tak sebagus apa yang
aku pikirkan.
Nilaiku pas – pasan, bukan terbaik se sekolah. Padahal
aku sudah les privat, seluruh kisi – kisi aku pelajari dan aku sudah cukup
paham apalagi aku les pivat yang membahas detai seluruh soal ujian. Tapi hari
itu aku tak melupakan do’a untuk bisa mengerjakan soal ujian. Jadi rasanya
usaha dan do’a tak menentukan aku akan jadi juara pertama secara umum,
melainkan juara pertama dalam hidupku.
“Bukan aku tak mau lagi bermain dengan segerombolan
bawang merah yang pernah membuatku menangis kala itu, tapi aku ingin
menetralkan pikiranku yang kacau” ungkapku masih dengan memandangi langit.
“Tapikan, kau sudah berjuang mati – matian hingga
titik ini bro!” jawab Andi sambil mengikutiku merebahkan badan di atas
kumpulan rumput.
“Aku tahu. Tapikan kau juga tau. Bahwa kita juga
butuh istirahat, anggap aja break agar bisa fresh lagi. Orang para pekerja
kantoran aja ada libur dihari Minggu, masa aku enggak boleh? Aku kan juga
pekerja, meskipun hanya seorang koki...” jawabku membela diri.
“Iya sih. Tapikan...” Protes Andi yang langsung ku
potong.
“Intinya aku sudah usaha sebaik mungkin, jika pada
akhirnya aku harus gugur sebelum semi final, berarti itu yang terbaik untukku. Jika
memang pada akhirnya aku masuk final dan jadi pemenang, maka itu yang terbaik
untukku dari sang Pencipta. Apapun jawabannya, aku tetaplah pemenang Ndi! Aku
adalah sang legenda di hidupku sendiri” ungkapku dengan santai dengan harapan
Andi tak mengajukan pertanyaan lagi.
“Bentar. Jadi maksudmu, apapun hasilnya kau tetap
sang legenda. Bukan karena juara satu yang diakui oleh orang sejagat, tapi
diakui oleh diri sendiri? Percaya diri banget sih loh...” Jawab Andi dengan
kesal.
“Hm... Inilah faktanya. Setiap orang adalah sang
legenda. Tak perduli mereka di anggap baik atau buruk oleh orang lain, tapi
yang jelas, mereka adalah pemeran utama di hidup mereka, dan pastinya, mereka
akan tetap menjadi legenda sejak nafas pertama tercipta. Dan...” belum sempat
menyelesaikan jawabanku, Andi langsung memotongnya.
“Stop! Aku paham. Aku paham. Tuan Anggara Budiono.
Jangan di lanjut lagi. Mending ayo kita lari lagi dan berpisah di persimpanga
jalan!” Andi kesal langsung bangun dan menarik tanganku.
Rasanya memang benar, setiap orang tercipta sebagai
sang pemenang, sebagai sang legenda. Sedangkan jurinya bukan para manusia yang
mencibir kurang lebihnya diri manusia, melainkan diri sendiri, dan tentunya
sang pencipta. Jadi, dunia belum berakhir jika kalah begitu saja di tengah arena,
meskipun merasa sudah melakukan yang terbaik, baik dengan berdo’a dan usaha.
“I’m Legend. Ini
bukan hanya untukku sang koki gadungan, tapi untuk seluruh manusia tanpa
terkecuali, termasuk Andi yang sedang berjuang untuk bisa masuk tim nasional”
ungkapku lirih sambil berlari mengikuti Andi yang sejak tadi memanggilku untuk segera
kembali ke lintasan lari di pinggiran stadion.
N Khana, blogger dan content creator dengan ketertarikan dalam penulisan, desain grafis, dan media sosial, Fotografi, Literasi, dan kopi. Bergabunglah dan ikuti perjalanan saya! Bisa dihubungi melalui halo.nunaku@gmail.com
0 comments